BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 23 Desember 2010

Cerpen : "Aku sayang kamu nak..." (Selamat Hari ibu buat seluruh Ibu diIndonesia)

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan Meski tapak kaki penuh darah penuh nanah…

Lagu iwan fals yang mengalun lembut lewat layar televisi yang aku tonton pagi itu tak urung membuatku meneteskan airmata.. Ya hari ini hari ibu, hari besar yang dirayakan oleh seluruh channel televisi yang aku tonton. Entah bagaimana keadaan ibuku sekarang. Sudah 5 tahun aku meninggalkan beliau demi laki- laki yang aku cintai. Sudah 5 tahun pula aku meninggalkan tempat kelahiranku dan rumah ibuku di pulau jawa, tepatnya di ngawi, disebuah kampung padat penduduk dan miskin tentu saja. Tiba- tiba tanpa sadar putra kecilkupun menangis saat melihatku meneteskan airmata. Dia takut dan langsung memeluku. Putraku kini berusia hampir 5 tahun. Dengannyalah kini aku menghabiskan waktu dan kehidupanku, tak ada lagi yang aku inginkan kecuali putraku bisa mendapatkan kehidupan dan pendidikan yang layak. Pasti sama persis seperti apa yang ibu harapkan kepadaku dulu. Aku menarik nafas panjang, aku menyesal bu, maafkan Siti mu bu. Siti benar- benar menyesal gumamku dalam hati. Dan lalu kembali air mataku mentetes, jauh lebih deras, jauh lebih menyesakkan dari sebelumnya, kukuatkan pelukanku pada Gandhi anakku.


***
Aku ingat betul saat itu, saat ibu mengusirku, terakhir kulihat betapa kekecewaan bergelayut di wajah ibuku. Saat itu aku baru memasuki semester pertama di tahun terakhir sekolah SMA ku, itu artinya dalam hitungan bulan lagi aku akan mengikuti Ujian Nasioanal. Aku anak satu- satunya ibu, kebanggaan, itu yang sering aku dengar dipembicaraan ibuku dengan para tetangga. Ya, karena akulah tumpuan harapan beliau. Banyak yang sudah ibu rencanakan untuk masa depanku masa depan kami. Meski ibu hanya guru sekolah dasar dengan pangkat yang masih rendah, ibu tetap berusaha memperjuangkan kebutuhanku dan mampu menyusun kerangka masa depanku, Setamat SMA rencanyanya beliau akan menguliahkanku ke Jogja, tempat kuliahnya orang pintar kata ibu. Karena memang dikampung tempat tinggalku sangat sedikit orang yang mampu dan mau berkuliah. Mereka lebih memilih bekerja diladang atau dikebun. Namun ibu menginginkan masa depan berbeda untuk kami, karena itulah ibu tak pernah lelah mengusahakan semua kebutuhan kami. Selain mengajar ibu juga berjualan sayur dipasar, ibu menjulakan sayur- sayur para tetangga juga sayur dari kebun kecil kami sendiri. Yah ibu mesti bekerja sendirian Karena bapak telah lama meninggalkan ibu, sejak aku dalam kandungan, bapak pergi karena sebuah kecelakaan, aku tak begitu tau bagaimana kecelakaan itu terjadi, akupun tak mau bertanya banyak kepada ibu, karena aku tau itu tentu akan membuat ibu sedih. Cukuplah sebuah photo bapak yang dibingkai kayu tua untuk bisa aku pandang dan aku peluk. Jadi sejak kecil aku tak mengenal sosok bapak. Meski begitu aku tau, bapak pasti imam yang baik dikeluarga. Terbukti betapa ibu tak pernah memasukan sosok lelaki lain kedalam hatinya dan kedalam kehidupan aku dan ibu selain bapak.

Dan disinilah petaka dimulai..
Minggu pagi itu kampung kami ramai menyambut 7 mahasiswa semester akhir yang datang dari sebuah Universitas swasta di Jogja untuk melakukan riset kampusnya, nama programnya KKM, kuliah kerja nyata. Ibu pernah menjelaskan hal itu padaku. Katanya mereka akan meneliti tentang kepadatan penduduk dan transmigrasi. Ya karena memang banyak dari penduduk kampung kami yang telah melakukan transmigrasi ke Pulau Kalimantan. Kabarnya ada beberapa dari mereka telah hidup enak disana. Mahasiswa- mahasiswa itu akan berada 3 bulan dikampung kami. Lalu kehidupan kampung kami telah berjalan normal setelah beberapa hari diramaikan dengan sambutan- sambutan, makan minum bersama dirumah ketua RT yang tepat berada disebelah rumahku, tempat dimana ke 7 mahasiswa itu menginap. 1 bulan berlalu, akupun mulai akrab dengan mereka, namun salah satu diantara mereka sedikit lebih akrab denganku, namanya Rizal asli kalimantan. Kedekatan kami membuat ibu cemas, ibu sering wanti- wanti dan menghawatirkan banyak hal. Terutama jika kami tak bisa menjaga sikap. Aku dan Rizal sedikit tak terlalu peduli, terutama aku. Aku baru mengenal sosok seorang pria, dan aku jatuh cinta. Hari- hari kami lalui, mencuri kesempatan saat ibu tak ada dirumah. Aku benar- benar kehilangan akal sehatku, melupakan mimpi- mimpiku dan harapan ibu. Terkadang aku menyesal namun tetap saja aku tak sanggup menghindari. Hingga akhirnya waktu 3 bulan telah berlalu. Rizal memang sangat baik kepada seluruh penduduk terutama kepada ibu dan aku. Kini tibalah saat berpisah, aku benar- benar sedih. Tapi apa yang bisa aku lakukan. Rizal hanya memberikan janji bahwa dia akan menyelesaikan Pendidikannya di Jogja, lalu dia akan kembali kekalimantan dan akan menungguku disana. Semoga janjimu pasti.

Bulan demi bulan berlalu, aku dan Rizal hanya bisa bekomunikasi lewat surat, hanya kadang- kadang saja aku pergi kekota untuk menelpon Rizal lewat layanan telepon umum. Aku merindukan Rizal. Rindu yang tak seharusnya aku pendam sama dengan cinta yang tak seharusnya terlalu dalam padanya hingga aku sadari ada yang berbeda dari keadaanku. Satu bulan trakhir ini aku sering tak enak badan. Ibu mencemaskanku, aku hanya masuk angin, itu yang sering aku ucapkan kepada ibu. Ternyata ibu tak terima begitu saja, ibu langsung membawaku ke puskesmas terdekat. Dan ternyata hasil analisa nya adalah tamparan keras bagi ibu, aku hamil 3 bulan! Ibu syok dan menyeretku pulang kerumah. Tetesan airmata ibu kian deras, ibu tak berkata apa- apa ibu hanya menangis dan menangis. Segala rasa berkecamuk dalam hatiku, sakit, sedih, malu dan tak tahu apa yang akan ibu lakukan padaku. Bu, maafkan aku, hanya kata itu yang mampu tergumam dari bibirku untuk ibu.

Rupanya ibu tidak tidur semalam, mata ibu sembab wajah ibu pucat. Aku sungguh takut dengan apa yang akan ibu lakukan atas kelakuanku. Namun aku telah ikhlas, aku ihklas apapun yang akan ibu hukumkan kepadaku. Aku siap, siap untuk segala hal, karena ibu telah mengajarkan arti bertanggung jawab atas sebuah perbuatan kepadaku. Sampai kata terburuk pun akan aku terima, karena aku memang bukan anak yang pantas untuk ibu. Aku teramat bodoh telah melakukan kesalahan ini. Bicaralah bu, aku siap…
“Pergilah dari sini, dari kampung, dari pulau ini, saya sudah tak lagi berharap apa- apa padamu Siti, pergilah” meski terisak, aku tau ibu serius menekankan kata- kata itu untukku.
Air mataku menetes deras, akupun masuk kekamarku, kubawa secukupnya pakaianku dengan beberapa uang tabunganku yang cukup untuk mendatangi Rizal ke Jogja. Kupeluk ibu, aku cium pipi dan tangan ibu yang berdiri mematung, betapa kecewa ibu padaku. Sambil lirih aku ucapkan betapa aku sayang sama ibu…

Dari cerita yang aku sampaikan ditelepon, Rizal telah menungguku di stasiun. Rizal menjemputku. Aku sadari keputus asaannya dari wajahnya, tak ada senyum. Aku tahu, Rizalpun tak menginginkan ini. Begitupun aku. Tapi aku tak peduli, aku hanya peduli pada perasaan ibuku. Aku tak mau keberadaanku didepan matanya akan lebih menghancurkan perasaannya. Dengan setengah hati, Rizal berjanji akan mengantar aku Kekalimantan, menyewakan sebuah rumah dan akan menikahiku setibanya di Kalimantan. Sementara Rizal akan kembali ke Jogja menyelesaikan Kuliahnya. Sekitar 1 semester lagi dia akan menyusulku ke Kalimantan. Aku diam saja. Aku ikuti semua yang menjadi maunya. Aku telah pasrah.

Sudah satu bulan aku hidup dikalimantan dari hasil bantuan para keluarga Rizal, kaka, tante dan pamannya Rizal. Rizal sudah tak memiliki ibu dan Bapak. Aku telah terbiasa hidup seadanya, jadi dirumah ini sendirian tanpa ada barang dan makanan mewah sudah menjadi hal biasa bagiku. Sambil menunggu kelahiran Bayiku dan menunggu Rizal pulang, aku bantu- bantu tantenya Rizal di Toko beliau. Lumayan untuk beli susu dan menabung untuk biaya persalinan. Namun aku tetap saja berharap banyak pada keluarga Rizal untuk persalinan kelak. Sebab aku tak punya apa- apa, aku tak punya kekuatan untuk bekerja lebih keras dengan kondisiku sekarang. Alhamdulillah tepat satu tahun setelah kelahiran bayiku, Gandhi. Rizal diterima bekerja disalah satu perusahan besar di kota kami tinggal. Aku bersyukur keuangan keluarga kami berangsur membaik. Tiga tahun bekerja, Rizal mendapatkan kedudukan yang lumayan diperusahaan. Namun selama kami hidup bersama, Rizal sangat hambar menanggapi keberadaanku dan keberadaan Gandhi kami. Tak apa, yang penting dia masih mau menghidupi aku dan Gandhiku, aku selalu berdo’a semoga Rizal tak akan melalaikan kami sebagai keluarganya. Bulan demi bulan, Rizal kurasakan mulai banyak berubah, sering pulang malam dan bahkan berhari- hari tak pulang. Aku sedih, meski Gandhi tak terlalu dekat dengan bapaknya, Gandhi sering menangis mencari bapaknya. No HP nya pun susah dihubungi. Kalaupun dia pulang kerumah, Rizal sering membentak aku dan Gandhiku dengan alasan yang kadang dibuat- buat dan tak masuk akal bagiku.

Hari ini, Entah sudah bulan yang keberapa, yang jelas Rizal sudah tidak pernah pulang lagi, aku lelah menghitung hari demi hari, minggu ke minggu, bulan bertemu bulan. Aku semakin terpuruk, Gandhi semakin kurus terlebih aku. Keluarga Rizal sudah lepas tangan dengan kehidupan aku dan Gandhi. Karena Rizal telah mengirimkan surat cerai untukku. Sekarang hanya tinggal aku dan Gandhi dan uang sisa tabungan dan peralatan rumah tangga yang satu demi satu aku jual untuk kehidupan aku dan Gandhiku. Semakin hari semakin aku sadari, aku payah sebagai seorang ibu, ternyata menjadi seorang ibu sekaligus bapak bukan pekerjaan yang mudah untuk dilakoni. Ternyata apa yang dijalani ibu sejak aku lahir hingga aku mampu sekolah sampai SMA bukanlah pekerjaan semudah membalikan telapak tangan. Kesadaran dan penyesalan yang terlambat. Aku telah meremehkan segala apa yang ibu berikan kepadaku. Keindahan yang kami susun demi masa depan kami kini hanya tinggal puing tak berguna. Ya Allah, maafkan aku dengan segala dosa- dosa dan khilafku..



***
Detik ini telah aku bulatkan tekadku untuk tidak menunggu keajaiban dari manapun, aku harus mengusahakannya sendiri. Berbekal uang terakhir simpananku, aku memutuskan untuk pulang kerumah ibu kembali ketempat kelahiranku. Setelah perjalanan berat bersama Gandhiku, sampailah aku ketanah kelahiranku, kerumah tua ibuku. Rumah yang tak lagi terawat seperti dulu, tetanggapun berdatangan melihat kedatanganku kerumah ibu. Betapa menyesakkan dadaku saat ibu terbaring lemah diatas dipan diruang tamu, apa yang terjadi pada ibu? Kenapa ibu begitu kurus dan pucat. Semua pertanyaan berkelebat bergantian di kepalaku.
Istri pak RT, teman akrab ibu pun angkat bicara “Ibu mu sakit keras, sudah satu tahun belakangan ini dia tak bisa bangun, kondisinya lemah sekali, namun saya yakin, kondisi hatinya jauh lebih lemah dari pada badannya”. Beliau menghela nafas panjang “Kamu kemana aja nduk?, Ibumu setres memikirkan keadaanmu yang tak kunjung memberikan kabar”. “ibumu sering minta antarkan bapak ke kota, hampir setiap hari, sore baru pulang, beliau selalu mengharapkan kedatanganmu di terminal kota”. Beliau meneteskan air mata.
Aku tertunduk lesu tak bisa mengatakan apapun, aku fikir ibu teramat sangat membenciku, dan tak akan pernah lagi mengharapkan kedatanganku. Aku sering memimpikan ibu, dimimpiku ibu memintaku kembali pulang, namun aku takut itu hanya mimpi dan harapanku saja.
Semua tetanggapun akhirnya tak kuat menahan tangis mereka, kulihat sekeliling, semua meniikan airmata menyaksikan pertemuan aku dan ibu. Gandhi memelukku kuat sekali.
Aku coba mencium ibu, aku bisikan sesuatu ditelinga ibu “ibu, Siti pulang bu, maafkan Siti ya bu…”
Genggaman ibu kurasakan semakin kuat ditanganku. Perlahan airmata ibu menetes. Aku tau ibu tau kedatanganku.. Dengan mata yang masih terpejam ibu berkata lirih “Siti, jangan pergi lagi nak, ibu sayang kamu, ibu kangen kamu…”
“Siti gak akan pergi lagi bu, Siti berjanji akan terus ada untuk ibu, Siti janji”
Aku peluk tubuh ibu, aku cium tangan ibu, aku kecup kening ibu “Selamat Hari ibu, bu… teramat sangat aku menyayangi ibu”



_Ibu adalah tempat yang paling nyaman untuk kembali. Dada yang teramat lapang untuk memeluk segala khilaf dihidupmu. Ibu memiliki sejuta kasih tanpa batasan, tanpa mengharap imbalan. Ibu bukanlah perempuan yang pandai menghitung dan menjumlah segala apa yang sudah dia korbankan untuk anaknya. Hanya saja sering kita terlupa, kita akan sadar akan semua pengorbanannya pada saat titik nadir kita menyesali hidup. Dan saat kau datang memeluknya dengan waktu yang sangat terlambatpun, dia masih mampu berkata, “aku sayang kamu nak…”_
(Untuk para ibu yang diciptakan diseluruh garis hidup, terimkasih atas jasamu yang tak terkira)

0 komentar:

What U think bout My Blog?

Powered By Blogger